Pendidikan Berkarakter

Studi tentang karakter telah lama menjadi pokok perhatian para pisikolog, pedagog, dan pendidik. Apa yang disebut karakter bias dipahami secara berbeda-beda oleh para pemikir sesuai penekanan dan pendekatan mereka masing-masing. Oleh karena itu, memang tidak mudahlah menentukan secara defenitif apa yang dimaksud dengan karakter.






Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsure psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsure somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Di sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai cirri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan., misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.[1]


Berbicara tentang karakter dalam pendidikan mau tidak mau kita mempertanyakan secara kritis gambaran manusia macam apa yang ada dalam kepala kita. Benar kata Freire bahwa “setiap praksis pendidikan mengandalkan sebuah konsep tetang manusia dan dunia”. Dari gambaran manusia inilah kita mampu menurunkan jawaban-jawaban yang konsisten atau pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pendidikan. Untuk itu, perlulah pertama-tama kita mencoba mengenali dan memahami struktur antropologis yang ada dalam diri kita. Setiap usaha untuk memahami pendidikan karakter pertama-tama menti menjawab pertanyaan fundamental tentang struktur dasar antropologis kodrat kita sebagai manusia.






Data-data inderawi kita secara spontan mampu membedakan antara orang yang baik dan orang yang jahat. Antara orang yang memiliki keutamaan. Apakah sikap baik dan keutamaan ini memang iheren dalam diri manusia, atau menjadi keistimewaan orang-orang tertentu saja? Jika keutamaan itu merupakan sebuah karakter yang telah ada dari sononya, yang dimiliki oleh setiap pribadi, sifatnya statis, pendidikan karakter yang memberi perhatian pada proses perkembagan dan pertumbuhan menyempurnakan dari seorang individu menjadi tidak bermakna. Tidak ada gunanya menguasahakan pendidikan karakter sebab pada dasarnya manusia itu baik dan akan selalu menjadi baik.

Namun, pendapat di atas berbeda dengan kenyataan. Masalahnya adalah, mengapa dalam masyarakat kita ada orang-orang yang benar-benar jahat? Mengapa ada seorang yang begitu anti pada kehidupan, menjadi pembunuh, culas terhadap sesamanya, gemar berperang dan suka melecehkan kemartaban orang lain? Apakah orang-orang ini memang memilki sifat demikian dari sananya? Jika pendapat pertama tidak sepenuhnya tepat, untuk menjelaskan fenommena kedua, mungkin kita bias mengatakan bahwa dari sananya ada orang yang memiliki bakat menjadi orang baik, dan sebagian lain berbakat menjadi orang jahat.






Jika pandangan ini benar, pendidikan karakter tepat saja tidak ada gunanya bagi manusia sebab karakter baik atau buruk itu telah ada dari sananya. Usaha apa pun akan tetap mengkondisikan seseorang sesuai dengan karakternya. Namun, pandangan ini tetap tidak memauskan kita sebab dalam kenyataan kita melihat bahwa ada orang yang dulunya jahat sekarang menjadi  baik. Dan sebaliknya, ada orang yang dulunya baik sekarang menjadi jahat. Nah bagaimana menjelaskan perubahan ini?

Download Di Sini
http://track.clickbooth.com/c/aff?lid=25212&subid1=&subid2=&subid3=&subid4=&subid5=


[1]Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepbribadian Anak. Peran Moral. Intelektual, Emsional. Dan Sosial sebagai wujud integritas membangun jati  diri. Jakarta, PT Bumi Aksara, 11.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Cinta